Green Info
8 Oktober 2024
Tria Leogita (Green Contribute)

Kita semua tahu bahwa penyebab utama pemanasan global adalah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terakumulasi secara berlebihan di atmosfer sehingga menyebabkan peningkatan suhu rata-rata bumi dan memengaruhi perubahan iklim. Penggunaan bahan bakar fosil adalah faktor yang paling dikenal luas sebagai dalang dari emisi GRK yang berlebihan. Sebetulnya selain emisi dari bahan bakar fosil, terdapat banyak aktivitas manusia sehari-hari yang juga berkontribusi terhadap terbentuknya GRK dan salah satunya adalah sampah. Permasalahan sampah yang belakangan menjadi isu gawat di kota besar dengan intensitas kepadatan penduduk tinggi selain dapat menyebabkan masalah kesehatan, juga sangat berdampak pada lingkungan. Pada dasarnya sampah menghasilkan emisi GRK pada semua tahapan pengelolaannya. Mulai dari timbulan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan sampah hingga pemrosesan akhir. Ditambah kondisi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di seluruh Indonesia yang sebanyak 35,46% masih menggunakan penimbunan terbuka (open dumping). Open dumping merupakan sistem pengelolaan sampah di TPA yang dilakukan dengan menumpuk sampah baru di atas tumpukan sampah yang lama sehingga menghasilkan gunungan sampah raksasa. Gunungan sampah tersebut biasanya dibiarkan begitu saja tanpa penanganan dan penutupan dengan tanah akibat berbagai keterbatasan yang ada.
Berbicara tentang emisi GRK dari timbulan sampah di kota besar, TPA memegang kontribusi utama dalam peningkatan emisi GRK dari sektor persampahan. Di DKI Jakarta misalnya, jumlah sampah dari seluruh wilayah yang harus ditimbun di TPA Bantar Gebang secara open dumping pada tahun 2022 mencapai 80,8% dari total timbulan sampah. Dilihat dari tahapan pengelolaan sampah Jakarta tahun 2022, kontribusi penimbunan sampah di TPA merupakan hotspot kontributor emisi GRK terbesar dari segi tahapan pengelolaan sampah yaitu sebesar 2.034,5 ribu ton CO2-eq/tahun. Gunungan sampah di TPA open dumping tersebut akan mengalami penguraian atau pembusukan, dimana proses penguraian yang terjadi dapat menimbulkan sekitar 60% metana (CH4) dan 40% karbon dioksida (CO2). Emisi CH4 yang tidak terkendali dari TPA ini oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahkan dikategorikan sebagai salah satu sumber emisi CH4 terbesar. Perlu diketahui bahwa emisi CH4 ini memiliki efek lebih 25 kali lebih kuat daripada emisi CO2 dan menjerat lebih banyak panas di atmosfer.
Selain sampah-sampah yang diangkut dan ditumpuk di TPA, terdapat timbulan sampah lainnya yang dinamakan uncollected waste atau sampah yang tidak terkelola. Uncollected waste ini mencakup sampah-sampah yang dibakar secara terbuka (open burning) dan sampah yang tercecer (scattered dumping). Open burning merupakan penyebab timbulnya emisi GRK dan pencemaran udara yang paling jelas bisa kita lihat dari kepulan asap yang terbentuk. Senyawa-senyawa berbahaya yang dihasilkan dari pembakaran terbuka antara lain CO, CO2, CH4, NOx, SO2, senyawa Volatile Organic Compound (VOC), dan lain-lain. Sedangkan scattered dumping dapat meningkatkan risiko kesehatan manusia dari vektor penyakit seperti lalat dan tikus.
Berdasarkan pendataan tahun 2023, Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menyebutkan bahwa timbulan sampah dari 349 Kabupaten/Kota se-Indonesia mencapai 38.258.796,87 ton/tahun dengan sampah terkelola sebesar 62,48% dan sampah tidak terkelola sebanyak 37,52%. Sekitar 40% dari jumlah sampah tersebut berasal rumah tangga dengan komposisi terbanyak adalah sampah organik sekitar hampir 60%. Sampai sini apakah pembaca sudah merasa overwhelmed dengan data-data? Karena saya merasa begitu. Saya rasa sebetulnya jumlah timbulan sampah dan sampah yang tidak terkelola bisa ditekan hingga seminimal mungkin terutama sampah rumah tangga karena itu merupakan sesuatu yang bisa kita kontrol. Sampah rumah tangga yang mendominasi total timbulan sampah di Indonesia ini umumnya tidak bisa diproses lebih lanjut karena kondisi sampah yang tercampur. Solusinya sebetulnya sederhana yaitu, melakukan pengelolaan sampah dengan memilah sampah. Tapi sayangnya memilah sampah tampaknya tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesederhana itu, karena entah apakah sudah menjadi budaya atau kebiasaan sehingga kita tidak familiar dengan aktivitas memilah sampah. Ada lagi alasan klasik masyarakat tidak mau memilah sampah karena sampah yang disatukan kembali oleh petugas ketika pengangkutan. Kita merasa kecewa atas usaha yang tidak dihargai, padahal bukan begitu. Perlu diketahui bahwa memang seharusnya sampah yang dikumpulkan oleh petugas untuk dibawa ke TPA hanya jenis sampah residu yang benar-benar sudah tidak memiliki nilai manfaat.
Masalah sampah itu seperti efek domino. Sampah yang tidak dipilah dengan baik kemudian tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan timbunan sampah yang mengakibatkan bencana baik itu bagi kesehatan manusia maupun kepada lingkungan dan berakhir sebagai gunung limbah yang terus mengemisikan GRK. Sistem di bagian hulu perlu kita benahi agar tidak menjadi permasalahan yang semakin besar di hilir. Apakah memilah sampah itu sulit? Tidak sama sekali. Memilah sampah berarti memisahkan sampah berdasarkan jenisnya. Maka sebagai awalan kita harus memiliki beberapa wadah sampah yang berbeda. Ini hanya seperti permainan menyortir yang ada di gawai anda, kita bahkan bisa mengajak anak-anak untuk melakukannya sekaligus mengedukasi mereka. Minimalnya saja jika kita memisahkan sampah organik dan anorganik, maka kita sudah menyelamatkan diri dari berkontribusi atas 60% sampah organik yang dibawa ke TPA. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos atau diolah di biodigester menjadi biogas. Sampah anorganik basah dan kering sebaiknya dipisahkan karena sampah anorganik kering yang bersih, di bank sampah masih bernilai rupiah. Sampah anorganik ini bisa didaur ulang, dinamakan sebagai sistem ekonomi sirkular, atau diolah dengan cara dipadatkan menjadi Refuse Derived Fuel (RDF) untuk substitusi bahan bakar di pembangkit listrik. Anda bisa membawa sampah anorganik yang telah dipilah ke bank sampah atau jika anda tidak punya cukup waktu, bisa menggunakan jasa layanan penjemputan sampah terpilah yang bisa diakses secara daring. Jika menurut anda itu masih merepotkan, anda bisa memberikannya saja ke pengepul barang bekas yang suka lewat di depan rumah anda. Biar mereka yang mengelola atau mendistribusikan kepada bank sampah sehingga mereka bisa mendapatkan tambahan penghasilan. Sampah aman, lingkungan aman, anda selamat, sekaligus beramal melakukan perbuatan baik.
Das, B., Bhave, P. V., Sapkota, A., & Byanju, R. M. (2018). Estimating emissions from open burning of municipal solid waste in municipalities of Nepal. Waste management (New York, N.Y.), 79, 481–490.
Kristanto, G. A., & Koven, W. (2019). Estimating greenhouse gas emissions from municipal solid waste management in Depok, Indonesia. City and environment interactions, 4, 100027. ISSN 2590-2520.
Sekarsari, N., Kristanto, G. A., & Dahlan, A. V. (2023). Emisi gas rumah kaca dari pengelolaan sampah di Jakarta, Indonesia. Jurnal Reka Lingkungan, 11(1), 71-82.
Sistem Informasi Sampah Pengelolaan Nasional. 2023. https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/ [diakses 4 September 2024]
Walhi. 2023. Penghindaran Tanggung Jawab Produsen dan Pengelolaan Sampah di Hilir Menghambat Visi Nol Sampah dan Nol Emisi. https://www.walhi.or.id/penghindaran-tanggung-jawab-produsen-dan-pengelolaan-sampah-di-hilir-menghambat-visi-nol-sampah-dan-nol-emisi [diakses 3 September 2024]
