Green Info
6 Juni 2024
Muhamad Iqbal, Web Content Writer LindungiHutan

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia! Tapi, jangan lupa, di tengah euphoria perayaan ini ancaman dampak perubahan iklim kian nyata loh! Jadi, jangan sampai perayaan satu tahun sekali ini hanya akan menjadi acara seremonial tanpa adanya komitmen dan kontribusi nyata lebih lanjut.
Yup, bicara perubahan iklim beserta dampak yang dirasakan merupakan salah satu bentuk spreading awareness kepada kita semua umat manusia yang hidup di planet bumi. Bukan bermaksud untuk menakut-nakuti! Sebab, jika tidak kunjung sadar dan mengambil langkah nyata kita juga yang akan kena imbasnya.
Emang eak? Sejauh ini hidup saya masih aman-aman saja? Saya masih bisa makan, bekerja, dan hidup dengan nyaman. Syukurlah kalau demikian, sayangnya tidak dengan mereka di tempat lain. Mereka yang hidup di kawasan pesisir menjadi salah satu kelompok masyarakat yang rentan atau barangkali sudah terkena dampak perubahan iklim.
Di desa Bedono, Kecamatan Sayung, Demak, 200 lebih keluarga memilih pindah meninggalkan rumahnya yang kini terendam air laut akibat abrasi menghantam dengan parah kawasan tersebut. Rumah-rumah rusak, jalanan hilang tertelan air, menyisakan pemandangan bekas kampung yang teronggok di tengah-tengah lautan.

Situasi Desa Bedono (1)

Situasi Desa Bedono (2)

Situasi Desa Bedono (3)

Situasi Desa Bedono (4)
Sementara di Pulau Pari Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, nelayan mengaku mengalami kesulitan mencari ikan. Diduga salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim yang membuat nelayan sukar memperkirakan cuaca.
“Semenjak tahun 2000-an agak sulit, bahkan nelayan kawakan saja yang sepuh banyak yang bilang kalau cuaca sekarang susah diprediksi, mungkin faktor itu ya (perubahan iklim) yang memengaruhi menurunnya pencarian ikan, selain karena kontaminasi laut akibat sungai-sungai dari Kota Jakarta,” Ujar Edi Mulyono, nelayan tangkap dari Pulau Pari.
Kawasan pesisir bisa dikatakan cukup rentan akan ancaman nyata perubahan iklim. Kenaikan muka air laut menyebabkan banjir rob, hingga kondisi cuaca ekstrem jelas memengaruhi hajat hidup masyarakat pesisir.
Keberadaan hutan mangrove sebagai ekosistem khas kawasan pesisir, menjadi harapan di tengah upaya mitigasi perubahan iklim. Mengapa?
Apa itu blue carbon? Blue carbon merujuk pada karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir. Ekosistem yang berperan dalam produksi dan penyimpanan blue carbon meliputi mangrove, rawa gambut, padang lamun, terumbu karang, dan fitoplankton.
Ekosistem karbon biru menjadi penyerap karbon yang efektif, salah satunya terdapat pada hutan mangrove. Diperkirakan mangrove dapat menyimpan 20 Pg C (Satuan Pg C atau Pentagram Karbon digunakan untuk mengukur jumlah karbon dalam skala besar seperti pada ekosistem karbon biru) dan 70-80% tersimpan di dalam tanah sebagai bahan organik.

Penanaman Mangrove
“Mangrove sendiri untuk penyimpanan karbon itu hampir 5 kali lipat atau bahkan lebih daripada hutan-hutan tropis lainnya, jadi dibandingkan hutan boreal, ataupun hutan tropis sekalipun, mangrove ini punya potensi penyimpanan karbon yang lebih besar sekitar 5 kalinya dari hutan lain,” Jelas Alma Cantika Aristia, Product Manager LindungiHutan dalam acara Green Skilling.
Lebih lanjut, hasil penelitian para ahli CIFOR (Center for International Forestry Research) tahun 2023 dalam Rahma (2023), hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah dengan potensi penyimpanan karbon 800-1200 ton/ha.
Sebagai negara yang luas hutan mangrovenya mencakup lebih dari 34% dari total luas mangrove dunia, punya potensi besar simpanan mangrove beserta manfaat sosial dan ekonomi lainnya. Sayangnya ancaman alih fungsi lahan masih kerap menghantui. Belum lagi ketika upaya rehabilitasi dan penanaman mangrove yang belum menunjukkan hasil baik.
Aktivitas rehabilitasi dan penanaman mangrove mungkin saja sudah banyak dilakukan. Namun apakah sudah menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang baik? Apakah penanaman sudah diikuti dengan monitoring dan penyulaman guna memastikan tumbuh kembang pohon?
Nyatanya, upaya rehabilitasi dan konservasi hutan mangrove bukanlah perkara mudah. Perlu komitmen dan dedikasi yang kuat dari mereka yang punya niat.
Kembali ke cerita soal Bedono, Demak, kendatipun kampungnya kini terendam air laut, ada satu sosok yang memilih untuk tetap tinggal menjaga, menanam, dan merawat hutan mangrove setempat. Kurang lebih 10 tahun sudah Mak Jah tinggal bersama keluarganya di kampung yang kini terendam air laut.
“Ya sudah itu, Mak Jah sehari-harinya bekerja di rumah, sambil ngurusin ini, cari bibit mangrove, nanti habis cari bibit istirahat, besok ngisi tanah di polybag, terus habis itu ngerapihin yang sudah jadi, dah sehari-harinya gitu,” Ungkap Mak Jah.

Mak Jah
Bagi Mak Jah, merawat keberadaan hutan mangrove sama saja dengan merawat kehidupan. Bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi makhluk hidup lain yang menggantungkan hidupnya kepada ekosistem hutan mangrove.
“Lha kalau tak tinggal pergi lantas enggak ada yang ngerawat, aku kasihan sama burungnya, kalau enggak ada mangrove enggak ada rumahnya,” Sambung Mak Jah.
Dari Demak kita bergeser ke Semarang, tepatnya di pesisir Mangunharjo. Sururi bersama LindungiHutan menanam kurang lebih 30.000 mangrove di kawasan pesisir Mangunharjo. Sururi dan kelompok masyarakat setempat terlibat aktif melakukan pembibitan, penanaman, hingga monitoring dan penyulaman. Memastikan pohon mangrove yang ditanam hidup serta memberikan manfaat.
Keputusan untuk menanam dan melakukan rehabilitasi hutan mangrove muncul dari kekhawatiran Sururi. Abrasi yang mengancam ditambah minimnya keberadaan mangrove membuat Sururi aktif menanam.

Pak Sururi
“Kampung saya sekarang jauh dari abrasi, dulunya kalau mau ke laut itu enggak sampai 1 kilometer sudah sampai ujung pantai, karena abrasi tergerus. Nah sekarang kalau mau ke laut itu sudah jauh sekarang kalau mau ke laut itu sudah 3 kilometer,” Cerita Sururi.
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Pulau Pari dan Bedono Demak adalah nyata dan barangkali hanya puncak gunung es dari dampak perubahan iklim yang kita rasa. Mak Jah, Sururi, dan mungkin banyak orang lainnya di luar sana memilih untuk ambil aksi nyata. Memulai perubahan dari diri sendiri untuk perubahan yang lebih besar dan yang lebih baik!
About LindungiHutan
LindungiHutan adalah start-up lingkungan yang berfokus pada aksi konservasi hutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Sebanyak 800 ribu pohon lebih telah ditanam bersama 506 brand dan perusahaan. Kami menggandeng masyarakat lokal di 47 lokasi penanaman yang tersebar di Indonesia. Kami menghadirkan beberapa program seperti The Green CSR, Collaboratree dengan skema Product Bundling, Service Bundling dan Project Partner, serta program Carbon Offset.
Contact
Intan Widianti Kartika Putri
Head of Partnership
Email: kartika@lindungihutan.com
Phone: +62 823-2901-5769
Jl. Lempongsari 1 No. 405, Lempongsari, Gajah Mungkur, Kota Semarang 50231
Website: https://lindungihutan.com/
