Green Info
2 Oktober 2024
Yohanes Candra Sekar Bayu Putra Amuna - Umum (Green Contribute)

Majalah National Geographic Indonesia pernah menyentil kita dengan sebuah sampul berisi ungkapan tajam: “Maaf. Tidak ada gambar yang indah untuk perubahan iklim. Mampukah kita bertahan?” Tepat sekali! Kompleksitas dan seriusnya perubahan iklim yang kita hadapi saat ini tidak dapat divisualkan dengan gambar apapun. Di Indonesia sendiri, dampak perubahan iklim sudah tidak bisa dianggap remeh. Sepanjang 2023 tercatat 4.938 bencana: kebakaran hutan, banjir, dan cuaca ekstrem yang menewaskan 265 orang, 33 orang hilang, dan melukai 5.783 lainnya. Selain itu, 8,85 juta orang harus mengungsi karena tempat tinggalnya rusak (Budianto, 2024).
Salah satu contoh yang paling nyata adalah cuaca panas ekstrem yang menghantam beberapa kota di Indonesia pada September 2023. Suhu harian yang mencapai 38 derajat celsius membuat tubuh kita cepat lelah, dehidrasi, bahkan gagal panen (Litbang Kompas, 2023). Ironi ini merupakan alarm keras bagi kita semua. Kita diingatkan bahwa perubahan iklim bukan sekadar statistik dan prediksi ilmiah; dampaknya sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya perubahan iklim memang merupakan bagian dari dinamika alam yang telah berlangsung selama jutaan tahun. Variasi orbit bumi yang dikenal sebagai siklus Milankovitch menyebabkan perubahan dalam paparan sinar matahari di berbagai belahan bumi serta memicu periode Zaman Es dan periode pemanasan. Aktivitas matahari yang mengalami fluktuasi dalam siklus 11 tahun juga mempengaruhi iklim dengan mengubah jumlah radiasi matahari yang mencapai bumi. Letusan gunung berapi besar dapat mengirimkan partikel debu dan gas seperti sulfur dioksida ke atmosfer yang kemudian memantulkan sinar matahari dan mendinginkan bumi untuk sementara. Perubahan sirkulasi laut seperti peristiwa El Nino dan La Nina mempengaruhi distribusi panas dan kelembaban di seluruh dunia sehingga mengubah pola cuaca.
Akan tetapi kita juga perlu jujur bahwa perubahan iklim yang kita hadapi saat ini berbeda karena kecepatan dan intensitasnya dipercepat oleh aktivitas manusia. Revolusi industry pada abad ke-18 telah membuka pintu untuk pembakaran bahan bakar fosil yang masif: batu bara, minyak, gas. Semua itu membuat udara kita kian berpolusi dan suhu globalpun ikut meningkat. Pola cuaca jadi kacau, es di kutub mencair, dan alam pun mulai menunjukkan taringnya.
Kegiatan industri, deforestasi, dan pola konsumsi tak terkendali memperparah keadaan. Hutan—paru-paru dunia yang menyerap karbon—terus ditebang demi lahan pertanian dan pemukiman. Kita hidup dalam pola konsumsi berlebihan, memandang bumi sebagai entitas yang bisa dieksploitasi tanpa batas persis seperti yang dikritik Michael S. Northcott dalam bukunya ‘God and Gaia: Science, Religion, and Ethics on a Living Planet’. Northcott menyatakan bahwa pandangan umum manusia terhadap Bumi sebagai sebuah entitas hidup yang terabaikan merupakan akar utama dari segala persoalan lingkungan hidup (Northcott, 2022).
Pandangan kita yang dangkal tentang bumi membuat krisis lingkungan ini semakin parah (Northcott, 2022). Cuaca ekstrem, banjir, kekeringan, gagal panen, bahkan kematian adalah bukti nyata bahwa bumi sedang berteriak. Benar-benar tidak ada kata yang cukup indah untuk menggambarkan perubahan iklim. Pertanyaannya: mampukah kita bertahan?
Kita tidak bisa hanya mengeluh dan menunggu perubahan datang. Ini waktunya bertindak. Ada beberapa langkah konkret yang bisa kita ambil:
Menjaga bumi ini adalah tanggung jawab kita bersama. Langkah sederhana seperti memperpanjang siklus hidup barang, mengurangi jejak karbon, mengadopsi pola makan berkelanjutan, dan meningkatkan kesadaran lingkungan bisa menjadi solusi nyata. Dengan demikian, kita tidak hanya memperbaiki kualitas hidup kita sendiri tetapi juga menjamin masa depan bumi bagi generasi mendatang. Sekecil apapun aksi kita punya arti. Inilah saatnya bertindak sebelum bumi yang kita kenal benar-benar berubah selamanya.

Budianto, Y. (2024). Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim. KOMPAS. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/01/10/publik-makin-merasakan-dampak-perubahan-iklim
Litbang Kompas. (2023). Faktor Iklim Tekan Produksi Padi. KOMPAS. https://www.kompas.id/baca/riset/2023/10/12/faktor-iklim-tekan-produksi-padi
Lovelock, J. (1982). Gaia: A New Look at Life on Earth. Oxford University Press.
Northcott, M. S. (2022). God and Gaia: Science, Religion and Ethics on a Living Planet (1st Editio). Routledge. https://doi.org/https://doi.org/10.4324/9781003110750
