Green Info
24 Oktober 2023
Aviaska Wienda Saraswati

Perang Palestina vs Israel kembali memanas! Masyarakatnya dibayangi ancaman dampak perang yang tidak mereka sadari. Krisis iklim, air dan pangan mengancam keselamatan jiwa mereka.
Saat kita bicara tentang perang Palestina dan Israel di Gaza, gambaran yang muncul di benak kita adalah gempuran bom, tembakan senjata, dan kekerasan fisik yang hancurkan bangunan, tewaskan ribuan orang, serta merenggut harapan hidup generasi penerus. Akan tetapi, adakah yang pernah membayangkan bagaimana dampak lingkungan perang?

Serangan Udara Israel (VOA)
Konflik antara Palestina dan Israel telah dimulai sejak tahun 1917. Pada masa itu, wujudnya belum dalam bentuk perang. Konflik dipicu oleh Deklarasi Balfour yang mengikat Inggris untuk mendirikan pemukiman Yahudi di Palestina. Kebijakan itu menyebabkan perubahan demografi dan penyitaan tanah masyarakat untuk membangun pemukiman Yahudi. Pada akhirnya, konflik terus memanas hingga menjadi peperangan seperti saat ini.
Baru-baru ini, kelompok Hamas yang berasal dari Palestina melakukan serangan pada Israel di Gaza. Israel membalas serangan tersebut secara brutal dan menuai kecaman dari masyarakat dunia. Perang ini merenggut nyawa sekitar 5.618 korban jiwa. Konflik tersebut tidak hanya menimbulkan korban jiwa, namun juga kerugian materil, sosial, psikologis, dan lingkungan.

Ilustrasi Dampak Lingkungan Pada Perang (NewsOnAir)
Dampak lingkungan perang seringkali luput dari perhatian. Padahal, masalah lingkungan yang muncul perlahan akan menggerogoti keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di zona peperangan. Kerusakan itu bahkan tetap terjadi saat tidak ada peperangan karena aktivitas militer tetap berjalan. Berikut potensi kerusakan lingkungan akibat peperangan:
Gas Emisi Rumah Kaca (GRK) dihasilkan oleh manufaktur, distribusi, dan penggunaan senjata, kendaraan, serta perlengkapan militer lainnya. Elemen-elemen militer tersebut diproduksi dengan memanfaatkan energi mineral, minyak bumi, dan batu bara. Sumber energi tersebut tidak dapat terbarukan dan proses penambangannya menghasilkan banyak emisi karbon. GRK mampu memperburuk perubahan iklim karena melepaskan karbon ke atmosfer. Akibatnya suhu bumi akan terus meningkat.
Peperangan dapat memicu alih fungsi lahan baik itu hutan, perkebunan, peternakan, maupun pemukiman. Saat perang, lahan berubah menjadi medan peperangan, posko militer, dan tempat evakuasi. Disaat tidak perang pun, alih fungsi lahan dapat terjadi untuk membuka zona pangkalan militer.
Alih fungsi lahan mengakibatkan hilangnya sumber bahan pangan, air bersih, rusaknya kualitas tanah, dan hilangnya ekosistem asli lingkungan. Pada manusia, hal ini dapat mengakibatkan krisis pangan dan air yang berkepanjangan. Jika krisis terjadi, bukan tidak mungkin korban perang akan semakin banyak yang berjatuhan.
Masih berkaitan dengan alih fungsi lahan, peperangan dapat menyebabkan perubahan ekosistem yang mengurangi biodiversitas. Ekosistem yang rusak menghilangkan tempat hidup dan sumber makanan hewan dan tumbuhan yang hidup didalamnya. Spesies yang tidak mampu beradaptasi berpotensi mengalami penurunan populasi. Tidak hanya karena kerusakan ekosistem, biodiversitas juga dapat menurun akibat penggunaan senjata militer yang membunuh spesies makhluk hidup.

TPA di Gaza (bnn.network)
Di Gaza, masyarakat telah hidup bertahun-tahun dengan krisis lingkungan. Masalah yang mereka hadapi adalah krisis air bersih, pencemaran, kenaikan suhu, serta perubahan periode musim dan curah hujan. Masyarakat mengalami krisis air bersih karena air yang ada telah tercemar dan pasokannya terbatas. Bahkan untuk mendapatkan air yang tercemar, mereka harus merogoh kocek sekitar Rp. 78.000 – Rp. 200.000 per barelnya.
Gaza juga mengalami berbagai pencemaran di areanya. Lingkungan sekitar tercemari limbah padat dan cair. Hal tersebut mengurangi kesuburan tanah disekitarnya. Limbah juga menyebabkan penyakit pada masyarakat. Kualitas udara juga semakin memburuk akibat penggunaan senjata perang.
Krisis iklim di Gaza juga menyebabkan peningkatan suhu di wilayah tersebut. Penelitian memperkirakan bahwa suhu di Gaza memanas 2.5oC sejak tahun 1800. Hal ini telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat karena mereka lebih sering mengalami cuaca panas di siang dan malam hari daripada cuaca dingin.
Krisis iklim tersebut tentunya mempengaruhi periode dan curah hujan. Sejak terjadinya perang, musim hujan datang lebih lambat dari periode biasanya. Musim hujan di Gaza yang biasanya dimulai di bulan Oktober saat ini baru dimulai pada bulan November atau Desember. Curah hujan di Gaza juga sangat dinamis. Pada periode 2022-2011 curah hujan menurun. Namun, pada periode 2017-2019 curah hujan meningkat. Periode dan curah hujan sangat mempengaruhi aktivitas perkebunan dan pertanian. Masalah ini juga jadi latar belakang krisis pangan di Gaza.

Pemulihan Lingkungan Pasca Konflik di Tigray (CEOBS)
Pasca perang negara berkonflik akan menghadapi banyak masalah untuk pemulihan ekonomi, sosial, kesehatan, dan keamanan. Aspek tersebut adalah hal yang darurat dan jadi prioritas untuk diselesaikan. Akan tetapi, dampak lingkungan perang seringkali terlupakan. Padahal, lingkungan yang membaik dapat mendukung keberhasilan pemulihan aspek yang jadi prioritas dan darurat.
Saat peperangan terjadi, pemulihan lingkungan yang bisa dilakukan pertama kali adalah memperbaiki kualitas tanah dan mengurangi pencemaran. Penyelesaian dua masalah tersebut jadi pondasi untuk masalah lingkungan lainnya seperti krisis air, pangan, dan iklim.
Pemulihan tanah dilakukan untuk mengembalikan kesuburan dan menghilangkan zat polutan pada tanah akibat peperangan. Tanah yang kembali subur bermanfaat untuk membuka lahan pertanian, perkebunan, dan hutan. Alhasil, masyarakat perlahan akan memiliki sumber pangan mandiri dan pencemaran udara akibat penggunaan senjata perang akan berkurang.
Berkaitan dengan pencemaran, selain polusi udara, pencemaran lingkungan akibat kontaminasi limbah dan sampah juga harus segera ditangani. Pencemaran ini merusak kualitas air yang dikonsumsi masyarakat. Memperbaiki sistem pengelolaan limbah dan sampah membantu memulihkan krisis air yang jadi kebutuhan pokok masyarakat.
Pemulihan dampak lingkungan perang akan jadi PR besar dan panjang karena butuh waktu yang tidak sedikit untuk memulihkan ekosistem. Dibutuhkan kolaborasi yang erat untuk membantu negara yang terdampak perang mengatasi masalah lingkungan.
Tidak hanya di negara berkonflik, Indonesia juga membutuhkan kolaborasi multi pihak dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Demi menyatukan kontribusi berbagai pihak, Green Fund Digital Philanthropy memfasilitasi kebutuhan tersebut dengan mengumpulkan donasi publik untuk disalurkan pada upaya restorasi lingkungan. Platform ini menjaga keberlanjutan upaya pelestarian lingkungan lewat pendanaan berkelanjutan.
Agar aksi restorasi lingkungan di Indonesia punya pendanaan yang berkelanjutan, kamu cukup melakukan langkah kecil dengan berdonasi minimal Rp. 10.000. Donasi kamu mendukung kampanye Sampan Harapan, Triseda Membawa Berkah, Anak Pejuang Lingkungan, dan Sampah Jadi Cita.
